Posts

Komponen-komponen Kurikulum Resmi

Image
Kurikulum resmi ( official curriculum ) tidaklah sama dengan kurikulum yang diimplementasikan oleh guru ( enacted curriculum ).  Sebelum mengimplementasikan sebuah kurikulum resmi, guru perlu membaca kurikulum resmi terlebih dahulu. Namun, kemampuan membaca kurikulum resmi juga memerlukan teknik tersendiri. Sebelum mengajarkan calon guru membaca kurikulum resmi saya biasanya memperkenalkan komponen-komponen kurikulum resmi dulu. Saya memberikan dokumen kurikulum resmi kepada calon guru (kadang menggunakan lebih dari satu kurikulum resmi) dan meminta calon guru mengidentifikasi masing-masing komponen.  Kadang ada sedikit perbedaan antara kurikulum resmi yang satu dengan yang lainnya. Nama-nama komponen kurikulum pun kadang agak berbeda. Tidak masalah. Yang penting calon guru paham cara membaca kurikulum resmi apapun.  Kemampuan mengidentifikasi komponen kurikulum resmi menjadi dasar untuk membandingkan kurikulum-kurikulum resmi yang berbeda. Misalnya Calon guru dapat berlatig membandink

Kesiapan Guru Mengembangkan Kurikulum dan Pendidikan Guru yang Baik

Image
Di dalam buku "Powerful Teacher Education: Lessons from Exemplary Programs" karya Linda Darling-Hammond, et. al. (2006), ada kisah tentang seorang guru. Guru tersebut menceritakan pengalaman mengajarnya pertama kali. Dia mengajar di sekolah yang tidak punya kurikulum yang lengkap dan jelas dan bahan-bahan ajar yang terbatas. Meskipun begitu, guru tersebut merasa pengalamannya menempuh pendidikan guru di perguruan tinggi telah mempersiapkannya untuk hal tersebut. Sejak dulu, kurikulum resmi yang disediakan oleh negara bukanlah suatu kebenaran mutlak yang harus diikuti. Fungsinya lebih sebagai petunjuk, mempermudah guru dalam melakukan persiapan pembelajaran tetapi tidak perlu diikuti begitu saja. Sejak dulu sekolah memang harus mendesain kurikulumnya sendiri. Kini namanya Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP), ada masanya namanya adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Namun, adalah mustahil bagu guru kebanyakan untuk mengembangkan kurikulumny

Kurikulum Nasional dan Realitas Guru Indonesia: Refleksi dari Lapangan

Image
Sekitar 10 tahun lalu, jauh sebelum adanya kurikulum merdeka, 100 orang guru sedang berkumpul di sebuah seminar. Seorang  pendidik yan menjadi pembicara di acara tersebut bertanya, "Siapa di sini yang pernah membaca dokumen kurikulum (resmi)?" Tak seorang pun mengangkat tangan. Ternyata hampir semua guru yang hadir di sana memahami kurikulum berdasarkan hasil interpretasi pihak lain, misalnya interpretasi dari penerbit (dalam wujud buku teks), interpretasi dari pemateri saat bimbingan teknis kurikulum atau dari pelatihan guru, dan banyak lagi. Untuk keperluan administrasi, dari dulu sudah ada oknum-oknum yang menawarkan menjual paket kurikulum ke sekolah-sekolah. Biasanya isinya kumpulan silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran RPP), dan sebagainya. Sampai sekarang pun, oknum-oknum semacam itu masih ada. Kita bisa melihat, sampai hari ini pun, di grup-grup guru ada yang menawarkan paket-paket kurikulum merdeka berupa beragam modul ajar bahkan sampai paket video a

Guru, Jangan Jadi Sekadar "Pengimplementasi Kurikulum"

Saya pernah mengajar mata kuliah terkait kurikulum. Peserta mata kuliah tersebut adalah calon guru matematika, mahasiswa tingkat tiga di Fakultas Pendidikan. Sebelum mengajar, saya memberikan calon guru artikel "Teacher as Transformatory Intellectuals" karya Henry Giroux dan mengajak mahasiswa mendiskusikannya.  Saya berharap setelah mengikuti mata kuliah yang saya ampu, calon guru punya kesadaran bahwa mereka boleh memilih atau tidak memilih untuk mengikuti kurikulum resmi (baik yang disediakan oleh pemerintah, lembaga tertentu, ataupun sekolah) selama keputusan tersebut diambil berdasarkan basis keilmuan pendidikan yang mereka pelajari selama ini. Kurikulum resmi apapun tidak boleh dianggap kebenaran mutlak.  Artikel yang ditulis oleh  tersebut mengatakan bahwa ada dua pandangan mengenai guru. Pandangan pertama, guru sebagai teknisi yang tugasnya hanya mengimplementasikan kurikulum yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini guru tidak dianggap tidak memiliki kapasitas intelekt

Pak Sumardianta dan Saya (Bagian 3)

Image
Berkolaborasi menulis buku "Mendidik Pemenang Bukan Pecundang" bersama Pak Sumar berarti bahwa saya punya lebih banyak kesempatan ketemu Pak Sumar dan mengenal banyak orang baru. Kini, setiap ke Jogjakarta, saya selalu mengabari Pak Sumar. Ketika Pak Sumar tidak sibuk, dia dan istrinya (juga anaknya) akan menemui saya di Jogjakarta dan mengajak saya berjalan-jalan. Pernah saya diajak menemani Pak Sumardianta dan istrinya pergi kondangan, ke pernikahan anak seorang seniman di kaki gunung Merapi, di dusun Juwiran, Klaten. Saya melihat misa pernikahan yang dipimpin oleh Romo Sindhunata (yang sempat diperkenalkan kepada saya juga). Acaranya di semacam lereng gunung. Begitu banyak warga berkumpul di sana, duduk di atas kursi-kursi yang ditaruh di atas tanah, mengenakan pakaian tradisional, berarak-arak, dan membawa beragam seserahan. Sebuah upacara adat yang sangat menarik dan tidak pernah saya temui di kota besar.  Saya juga punya kesempatan berkenalan dengan banyak orang baru. S

Pak Sumardianta dan Saya (Bagian 2)

Image
  Tampaknya saya menemukan alamat twitter Pak J. Sumardianta dari buku "Guru Gokil Murid Unyu". Sebenarnya saya agak lupa. Saya mengirimkan twit perkenalan ke Pak Sumardianta, mengatakan bahawa saya baru membeli bukunya di toko. Sejak itu saya sering mengirimkan twit ke Pak Sumardianta, isinya link postingan tulisan saya di blog. Siapa tahu Pak Sumardianta mau meretweet. Pembaca blogku bisa lebih banyak kan? Bisa dikatakan saya 'memanfaatkan' popularitas Pak Sumardianta.  Ternyata Pak Sumardianta membaca tulisan-tulisan saya dan mengajak saya berkolaborasi menulis buku bareng. Saya iyakan.  Saat Pak Sumardianta ke Jakarta untuk menjadi pembicara di acaranya Universitas Negeri Jakarta (UNJ), bersama suami saya datang ke sana. Acara sudah selesai dan Pak Sumardianta harus kembali ke bandara Soekarno Hatta untuk pulang ke Jogjakarta. Suami dan saya sepakat mengantarkan Pak Sumardianta ke bandara menggunakan Bus Damri. Di dalam bus Damri tersebutkah Pak Sumardianta dan sa

Pak Sumardianta dan Saya (Bagian 1)

Image
Saya mengenal Pak J Sumardianta cukup lama. Tahun 2012 saya menjadi peserta Konferensi Guru Nasional (KGN) di Atma Jaya. Salah satu sesi yang saya ikuti diisi oleh seorang guru SMA SMA De Britto, Yogjakarta. Guru tersebut Pak Sumardianta.   Pak Sumardianta bercerita tentang program live in di sekolahnya. Di sekolah tersebut, program live in bukan sekadar tinggal bersama warga, tetapi turut hidup bersama warga. Siswa-siswa SMA De Britto, yang semuanya laki-laki, ikut hidup bersama pemulung, tinggal di panti jompo, dan berbagai tempat lainnya. Kalau mereka tinggal di rumah pemulung, mereka akan ikut bekerja bersama pemulung, memakan apa yang dimakan pemulung, tidur di rumah pemulung, tidak diistimewakan. Anak yang tinggal di panti jompo, ikut bekerja di sana, menemani orang-orang tua membersihkan diri (menceboki orang tua di panti jompo). Sambil tinggal di sana, para siswa secara tidak langsung merenungi hidupnya. Siswa yang tadinya jijikan dengan kotoran, setelah ikut memulung, belajar